Sabtu, 19 September 2015

Cita-Citaku

Ketika masih kecil sungguh banyak cita-cita yang ingin kuraih ketika dewasa. Ingin jadi pilot dilarang ibuku karena rawan kecelakaan, ingin jadi polisi dilarang karena dimusuhi mayarakat, ingin jadi tentara dilarang karena rawan mati perang,ingin jadi dokter aku ragu apakah bisa karena takut darah, jijik dengan nanah dan kotoran. Hambatan cita-cita tersebut menjadi kuat ketika dalam kehidupan sehari-hari melihat ada oknum tentara yang mabuk, berkelahi dengan oknum polisi, mengancam masayarakat,dll sehingga hilanglah identitas sebagai pengayom masyarakat. Dasarnya masih kecil, maka kejadian-kejadian itu kuanggap sebagai generalisasi. Timbul ketidak sukaan menjadi aparat negara tersebut. Ketika ada kejadian oknum pilot bawa sabu, kecelakaan pesawat makin sering terjadi di Indonesia, mengakibatkan cita-citaku menjadi surut. Timbul pertanyaan di benakku bagaimana sekolahnya , apakah sudah benar ilmunya, baik keterampilan pilotnya dan ajaran budi pekertinya? Ketika ada pasien disandera rumah sakit karena tak mampu bayar, ada pasien meninggal karena tidak cepat ditangani tenaga medis, ada dokter yang melakukan mal praktik, ada yang disuap untuk aborsi dll, membuat cita-citaku memudar ingin jadi dokter. Setelah agak besar kucerna segala kejadian tersebut, dan kuambil suatu kesimpulan bahwa ternyata banyak manusia yang tidak kuat dengan godaan nafsu, walaupaun dari sejak kecil sudah dididik dengan pengetahuan, keterampilan yang tinggi, sikap yang benar, dididik dengan ajaran agama yang lurus. Kehidupan dunia yang sebentar, tanggungjawab perbuatan dihadapan Ilahi, tidak membuat surut langkah untuk terus tergoda kepada hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama. Namun masih ada senyum dan optimis pada diriku dan sekaligus menghidupkan cita-citaku kembali,ketika masih ditemui ada tentara dan polisi yang tidak mau disuap, memberantas penjahat dan musuh-musuh negara tanpa pamrih, patriotisme dan nasionalisme yang dijunjung tinggi. Masih ada pilot yang menjalankan tugas dengan penuh tanggungjawab, memulai tugas terlebih dulu berdoa kepada Ilahi mohon keselamatan diri dan penumpang pesawat. Masih ada dokter yang dengan wajah ramah tidak bersedia dibayar oleh pasien miskin.

Arti Kehidupan

Mengapa kita harus hidup di dunia ini? Pertanyaan ini kadang-kadang mengusik kita. Padahal banyak hal yang dapat kita lakukan untuk kemashalatan bagi diri, keluarga , masyarakat, bahkan bangsa. Setiap tarikan nafas kita jika kita maknai dengan rasa syukur kepada ALLOH SWT yang tidak terhingga, maka kita akan dapat mencoba mengartikan bahwa jika oksigen di dunia ini sudah tercemar dengan polusi, maka alamat akan terjadi bencana yang dialami oleh makhluk hidup. Maka secara tidak langsung tindakan yang dilakukan oleh diri kita atau orang lain akan berdampak besar bagi kelangsungan hidup makhlukNya. Sesungguhnya kiamat kecil-kecilan sedang terjadi saat ini dan yang akan datang, jika kita tidak segera berbuat untuk menyelamatkan alam ini dari kerusakan. Mari kita lakukan apa yang dapat kita lakukan, sekecil apapun yang bisa kita lakukan. Kita menanam tanaman dengan perasaan sayang dan mengharapkan bahwa tanaman ini akan membawa manfaat bagi makhluk hidup, mudah-mudahan akan dicatat oleh ALLOH SWT sebagai amal yang membawa berkah. Kenyataan bahwa diri kita terbelenggu oleh nafsu harta dan kekayaan, sehingga dapat membutakan mata hati kita. Kabut asap yang melanda hampir setiap tahun adalah salah satu sebabnya ulah manusia, manusia yang sudah tidak berfikir panjang lagi dari dampak ulahnya, yang penting keuntungan dari lahan yang sudah hangus terbakar agar tanahnya subur kembali. Jalan pintas untuk mendapatkan keuntungan denagn biaya kecil, tanpa menghiraukan bencana yang dialami oleh makhluk hidup. Mana hati nurani kita? Balita, anak-anak, orang tua, dewasa, tidak memandang usia telah terlanjur mengalami sesak nafas mengharapkan udara di muka bumi ini bersih kembali. Mengapa kita rampas hak mereka untuk menghirup udara bersih? Adakah kita sudah menjadi algojo yang dengan wajah dingin merampas kehidupan mereka?